Saturday, January 24, 2009

PSIKOLOGI TRANSPERSONAL, genre baru dalam Psikologi

Awal mula adanya psikologi transpersonal muncul perdebatan mengenai penyakit jiwa yaitu psikosis (skizoprenia). Pada tahun 60-an, behaviorisme memandang bahwa psikosis itu terjadi karena kesalahan akibat proses belajar yang keliru, jiwa tidak dibicarakan dalam behaviorisme. Tahun 1970-an, psikoanalisis memandang skizophrenia (penyakit psikosis) diakibatkan pengalaman traumatis, terutama pengaruh ibu yang menderita kecemasan. Pengalaman traumatis itu terjadi karena represi ke alam bawah sadar, pengalaman spiritual dianggap sebagai perilaku obsesif dan pemenuhan keinginan dari masa kanak-kanak, jiwa diperhitungkan sebagai motif-motif bawah sadar, terutama seks. Dua puluh tahun berikutnya ada penjelasan neurokimiawi tentang skizophrenia, adalah “biologically-based brain disease”, kelompok ini menggunakan obat-obatan untuk penyembuhan skizoprenia.
Pada tahun yang sama penggunaan obat-obatan ini justru mengantarkan banyak orang pada pengalaman spiritual pada realitas diluar realitas fisik. Sally Ciay adalah satu mantan pasien psikiatris, menulis artikel ”stigma and spirituality”, ia melaporkan pengalamannya selama ia menjadi pasien di Hartford Institute of Living (IOL) ketika ia didiagnosa menderita skizoprenia. Ia berkata bahwa ”not a single aspect of my spiritual experience at the IOL was recognized as legitimate; neither the spiritual difficulties nor the healing that occurred at the end”. Ia membantah bahwa memang ia menderita psikosis pada waktu itu. Tetapi di samping penderitaan karena penyakitnya itu, ia juga mendapat pengalaman spiritual yang dalam. Karena pengalaman ini diabaikan oleh petugas kesehatan, kesembuhannya mengalami hambatan.
Dari kalangan psikiater R.D. Laing dan John Perry mengkritik pandangan profesi mereka yang menganggap kegilaan sebagai penyakit. Menurut Laing, seorang skizoprenia memang gila, tetapi ia tidak sakit. Jiwa secara keseluruhan adalah sebuah lautan luas, yang kebanyakan tidak diketahui ego. Jadi seorang psikosis itu bersentuhan atau bahkan tenggelam didalamnya, ia sedang menempuh perjalanan berbahaya, mengarungi samudera jiwa untuk menemukan makna yang lebih dalam. Laing berkata psikosis bukanlah ”breakdown” tetap ”breakthrough”, bukan kehancuran tetapi terobosan. Laing adalah tokoh utama dari psikologi humanistis-eksistensial.

SEKILAS TENTANG TRANSPERSONAL
Kata transpersonal berasal dari kata trans yang berarti melampaui dan persona berarti topeng. Secara etimologis, transpersonal berarti melampaui gambaran manusia yang kelihatan. Dengan kata lain, transpersonal berarti melampaui macam-macam topeng yang digunakan manusia.
Menurut John Davis, psikologi transpersonal bisa diartikan sebagai ilmu yang menghubungkan psikologi dengan spiritualitas. Psikologi transpersonal merupakan salah satu bidang psikologi yang mengintegrasikan konsep, teori dan metode psikologi dengan kekayaan-kekayaan spiritual dari bermacam-macam budaya dan agama.
Konsep inti dari psikologi transpersonal adalah nondualitas (nonduality), suatu pengetahuan bahwa tiap-tiap bagian (misal: tiap-tiap manusia) adalah bagian dari keseluruhan alam semesta. Penyatuan kosmis dimana segala-galanya dipandang sebagai satu kesatuan.

MISI DAN KAJIAN PSIKOLOGI TRANSPERSONAL
Dalam Website-nya, Association for Transpersonal Psychology (www.atpweb.org/mission.html) menjelaskan misi psikologi transpersonal sebagai berikut:
“Misi kami adalah menyediakan forum bagi para sarjana dan praktisi yang meneliti perkembangan spiritual, penyadaran ekologis, dan pertukaran intelektual yang berlangsung lama untuk mengangkat transformasi eko-spiritual melalui penyelidikan dan tindakan transpersonal.
Dengan mengenali hubungan timbal-balik yang inheren antara tindakan kita dan dunia kita, asosiasi ini didedikasikan untuk mendorong dan memacu praktik-praktik dan perspektif-perspektif yang akan mengantar pada ko-evolusi kebudayaan, alam, dan masyarakat yang sadar dan berlangsung terus-menerus.
Keahlian kami adalah memadukan pengetahuan psikologis dengan pengetahuan spiritual yang melaluinya kami mendorong transformasi spritual, baik secara individual maupun secara kolektif. Untuk sampai pada tujuan ini, asosiasi mendorong demokrasi spiritual; pemeriksaan yang cermat kepada beragamnya teknik, disiplin, dan metode untuk mengeksplorasi spiritualitas personal dan praktik-praktik kultural yang tradisional; dan pengenalan akan bagaimana yang sakral diejawantahkan dalam semua pengalaman.
Dari misi ini sudah terlihat bahwa psikologi transpersonal adalah bidang yang sangat luas yang menghubungkan segala perilaku manusia dengan dimensi spiritual. Pemahaman akan dimensi spiritual ini harus diakui sangat beragam menurut agama dan budaya. Semuanya layak untuk ditampung dalam ruang yang bernama psikologi transpersonal.

PERBANDINGAN TRANSPERSONAL DENGAN YAN LAIN
Psikologi secara sederhana sekali bisa diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia. Sekali lagi, perilaku manusia. Ada resiko yang tidak kecil dalam definisi ini. Apakah perilaku itu? Untuk menjawabnya, kita tidak bisa memberi jawaban tunggal. Definisi perilaku sangat tergantung pada kacamata atau sudut pandang yang kita gunakan.
Kita bisa mengerucutkan berbagai definisi perilaku pada aliran-aliran psikologi yang berkembang sejak Wilhelm Wundt mendirikan Laboratorium psikologi pertama di Universitas Leipzig pada bulan Desember 1879. Tabel berikut akan memberi gambaran tentang orientasi pemikiran dalam aliran-aliran psikologi.

Orientasi pemikiran dalam aliran-aliran psikologi

Strukturalisme
Struktur kesadaran

Fungsionalisme
Fungsi/cara bekerja kesadaran

Behaviorisme
Pola stimulus-repons

Psikoanalisis
Dunia ketidaksadaran

Psikologi Gestalt
Persepsi menyeluruh terhadap objek

Psikologi humanistik
Kesadaran dalam totalitasnya

Psikologi kognitif
Korelasi kesadaran dan fungsi kognitif

Psikologi transpersonal
Struktur dan pergerakan jiwa dari kesadaran sampai pada diri terdalam

Nah setelah kita mengerti bagaimana aliran-aliran itu berbicara tentang perilaku, bisa kita menggarisi sedikit perbedaan yang ada pada mereka, sehingga dapat kita perhatikan bagaimana ketidakpuasan para tokoh pendiri aliran transpersonal pada aliran psikologi yang ada, dan yang notabenenya tidak mampu menjelaskan tentang hal baru yang mereka temukan belum lama ini.
Pendirian psikologi transpersonal seringkali dilekatkan dengan nama Anthony Sutich dan Abraham Maslow yang juga menjadi pendiri Mazhab Ketiga dalam psikologi yang disebut Psikologi Humanistik. Memang mereka berdualah yang berjasa dalam pendirian aliran baru ini. Upaya yang timbul dari ketidakpuasan pada teori yang tidak mampu menjelaskan hal-hal baru yang mereka temukan. Sebut saja ketika Maslow mulai meneliti aspek-aspek kehidupan religius, dan saat itu pemikiran ilmiah Amerika sedang didominasi oleh behaviorisme yang kurang simpati dengan eksplorasi dimensi batiniah. Menghadapi situasi ini, Maslow tidak terburu-buru memperkenalkan pengalaman mistis. Langkah pertama yang ditempuhnya adalah memperkenalkan istilah pengalaman-pengalaman puncak (Ing: peak experiences).
Upaya Maslow memang terkesan lambat, namun ia berhasil membangunkan pemikiran-pemikiran spiritual yang tidur dalam berbagai konteks kultural dalam cara yang lembut, sampai-sampai dalam kurun waktu tiga puluh tahun gerimisnya sudah membasahi sebagian besar tubuh psikologi. Pada tahun 1969, Maslow dan Sutich secara formal mendirikan Journal of Transpersonal Psychology (Jurnal Psikologi Transpersonal). Tiga tahun kemudian, pendirian itu dikokohkan dengan berdirinya Association for Transpersonal Psychology (Asosiasi Psikologi Transpersonal) yang menjadi wadah bagi eksplorasi pengalaman mistis, trans, atau spiritual yang berakar baik dalam tradisi Timur maupun tradisi Barat.
Pendirian itu digagas oleh Sutich yang mengumpulkan para tokoh-tokoh yang mempunyai paham yang sama di rumahnya di California (waktu itu pusat gerakan "kontra budaya''). Mereka membahas secara informal topik-topik yang tidak diperhatikan oleh psikologi humanistik dan gerakan potensi manusia waktu itu. Pertemuan itu dihadiri oleh Abraham Maslow (psikolog humanistik yang berbicara tentang peak experience, pengalaman puncak), Stanislav Grof, dan Victor Frankl, yang kemudian dari diskusi ini menghasilkan istilah transpersonal untuk gerakan psikologi yang mereka rintis.
Diskusi ini dipimpin langsung oleh Sutich meskipun harus menggunakan cermin di atas kepalanya karena ia terbaring lumpuh oleh penyakit kronis. Dalam diskusi ini Wilber (Kenneth Earl Wilber Jr) belum hadir karena pada waktu itu ia masih menjadi pemuda gelisah yang juga mengalami ketidakpuasan terhadap sains dan psikologi modern.
Sebenarnya, jauh sebelum Maslow mengemukakan tentang pengalaman mistisnya, telah muncul seorang tokoh yang telah banyak membicarakan tentang pengalamn yang sama seperti yang diungkapkan Maslow. Adalah seorang psikiater Kanada R.M. Bucke. Pengalamannya terjadi pada kunjungannya ke Inggris pada tahun 1872, yaitu ketika ia merasakan perasaan tenang dan damai, yang kemudian berubah seketika menjadi muram dan seolah-olah seperti terbakar nyala api, kemudian perasaan itu berubah kembali seketika itu pula menjadi perasaan suka ria yang menyelimutinya. Bucke menyebutnya sebagai secercah kesadaran kosmik. Psikologi pada masa Bucke tidak memiliki label-label untuk menentukan tentang hal itu kecuali label-label psikopatologis. Sehingga mulailah ia berpaling pada psikologi timur untuk menemukan hal-hal yang tidak ditemuinya di barat.
Selain itu gagasan tentang transpersonal juga telah dikemukakan oleh C.G. Jung, walaupun memang tidak secara penuh seperti apa yang dilakukan Maslow, namun tulisan-tulisan dan teori-teorinya merupakan jembatan utama menuju psikologi transpersonal. Perkembangan dalam aliran psikologi ini secara mengejutkan memberi angin segar bagi kita bangsa timur, yang selama sekian abad telah dianggap irrasionil, subjektif, dan sangat tidak ilmiah. Pemikiran, dan ajaran-ajaran timur dianggap tidak relevan dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan empiris dewasa ini, sehingga bangsa timur dianggap second nation dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia, dan perkembangan ini merupakan awal yang baik bagi bangsa timur. Dan ini perlu untuk didukung dan terus dipupuk perkembangannya.

Monday, January 5, 2009

“Life is not Futile, but it’s Meaningfull”

oleh: Muhammad Nasrullah


Pada saat Bill Gates mengundurkan diri dari Microsoft Corp semua orang bingung, mengapa orang paling kaya sedunia, paling berkuasa dengan uangnya, paling berpengaruh, paling dihormati karena prestasi dan kekuatannya, tiba-tiba mengundurkan diri pada usia muda, dan menyibukkan diri mengurusi yayasan sosial korban HIV/AIDS. Ini contoh nyata suatu lompatan logika, dia rela melepaskan kekuasaan dan kekayaan, untuk kegiatan sosial. Kenapa bisa demikian? Apa isi dunia kehidupan setelah uang dan materi? Berarti ada kebutuhan lain di luar kebutuhan hidup untuk memiliki makanan, rasa aman, cinta dan pengakuan serta aktualisasi diri yang dikemukakan Maslow. Ada piramida kebutuhan selain kebutuhan duniawi.

Kebutuhan hidup ala Abraham Maslow tidak bisa menjelaskan mengapa banyak orang miskin yang bahagia. Mereka tidak terpengaruh oleh perbedaan jenis makanan, minuman atau rumah yang ditempati. Orang miskin bahagia seperti menunjukkan bahwa kebutuhan dasar hidup bukan seperti piramida Maslow. Mengapa para master spiritual Budha (Zen, Ch’an) dapat bertahan menempuh penderitaan hidup? Apa sebenarnya yang mereka alami? Pengalaman hidup apa yang terlintas sehingga para Darwis dan Sufi penganut ajaran Tasawuf dan Tareqat keagamaan dalam Islam mampu menahan keinginan-keinginan dan hasrat untuk menikmati surga dunia?

Fenomena ini sudah lama mengganggu dan membuat otak berpikir keras untuk menemukan jawabannya, dan itulah alasan kuat mengapa Jung (Carl Gustav Jung) banyak meneliti tentang hal-hal yang berbau spiritual. Dalam teori kepribadiannya, Jung memperkenalkan konsep individuasi (realisasi diri) dimana gagasan ini dibangun Jung secara transpersonal berdasarkan kajian-kajian atas simbol-simbol mitologis dan simbol-simbol religius agama barat maupun timur. Jung melihat bagian tak-sadar bukan saja hanya bersifat komplementasi (saling melengkapi), tetapi juga kompensasi (saling mengimbangi).

Gagasan ini kemudian dilanjutkan Maslow dengan mempublikasikan peak experience (pengalaman puncak) yang dialami seseorang setelah mencapai tahap aktualisasi diri (tahap terakhir dalam Needs Hierarchy Theory), sebenarnya Maslow ingin memperkenalkan gagasan yang lebih dalam lagi tentang pengalaman-pengalaman mistis dan spiritual, namun karena pada waktu itu alam pemikiran Amerika (Behaviorisme) sangat tidak akrab dengan istilah-istilah ekplorasi batiniah, ia memilih untuk menunggu waktu yang tepat dan terlebih dahulu ia mengenalkan istilah peak experience tersebut.

Upaya Maslow memang terkesan lambat, namun ia berhasil membangunkan pemikiran-pemikiran spiritual yang tidur dalam berbagai konteks kultural dalam cara yang lembut, sampai-sampai dalam kurun waktu tiga puluh tahun gerimisnya sudah membasahi sebagian besar tubuh psikologi (Y. F. La Kahija, Makalah Psikologi Transpersonal).

Hasilnya dapat dilihat pada saat ini, dimana banyak para Psikolog dan praktisi Psikologi tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang sisi ini, walaupun memang belum cukup kuat untuk membawa pengalaman-pengalaman mistis dan spiritual itu kepada jabatan pengakuan secara umum, namun embrio zeitgeist kemunculannya sudah semakin tercium untuk saat ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya Association for Transpersonal Psychology, yang dalam websitenya (www.atpweb.org/mission.html) menjelaskan misinya: “Misi kami adalah menyediakan forum bagi para sarjana dan praktisi yang meneliti perkembangan spiritual, penyadaran ekologis, dan pertukaran intelektual yang berlangsung lama untuk mengangkat transformasi eko-spiritual melalui penyelidikan dan tindakan transpersonal”.

Sengaja kami mengemukakan secara singkat tentang fenomena perkembangan Psikologi Transpersonal dewasa ini, tak lain adalah agar muncul gambaran tentang lokasi keberadaan pengalaman mistis dan spiritual dalam ranah penelitian ilmiah Psikologi, yaitu dalam aliran Psikologi Transpersonal, aliran yang baru sekaligus lama. Dapat dikatakan baru karena eksplorasi ilmiah dalam bidang ini memang baru berjalan beberapa dasawarsa ini, dan dikatakan lama karena fenomena ini telah terjadi puluhan abad silam, ketika Sidharta Gautama (Budha) mencapai fase pencerahan1, ketika Muhammad mampu menyebarkan Nur Ilahi (cahaya keTuhanan) pada bangsa Arab2, hingga sampai saat ini.

Istilah Tareqat berasal dari bahasa Arab, berasal dari tiga huruf: tho’, ro, dan qof. Tareqat dalam arti bahasa berarti jalan, sedangkan dalam konteks ini adalah sebuah jalan tanpa rambu dipadang pasir (Ibn ‘Arabi dalam Hati Diri dan Jiwa) untuk menuju haqiqoh (kebenaran terdalam)3, namun Tareqat merupakan istilah lain yang banyak dipakai untuk menamakan aliran-aliran Tasawuf4 di Indonesia dan Negara-negara Islam lainnya.

Terdapat banyak sekali Tareqat keagamaan yang ada dalam Islam, sebut saja Naqsyabandiyah, Qodiriyah, Halveti-Jerrahi, Dhohiriyyah, dan masih banyak lagi, kesemuanya dapat diibaratkan sebagai beberapa jalan untuk mencapai sebuah gunung yang tinggi. Jalan mana yang dipilih tergantung setiap individu untuk memilihnya, setiap individu bebas untuk memilih yang mana, tapi inti dari meniti jalan tersebut adalah untuk dapat sampai pada puncak gunung tertinggi. Namun disini pembahasan akan lebih memiliki kualitas dengan meneliti salah satu Tareqat saja, karena begitu luasnya cara mereka dalam melakukan praktek dan ritual-ritual Tareqatnya.

Tareqat keagamaan dalam Islam dapat kita bandingkan dengan Meditasi Zen (Ch’an) dalam Budha, dalam wacana pencarian ketenangan dan makna hidup, kita dapat menyebut pengalaman yang dirasakan pelakunya sebagai pengalaman religius (hal ini mengacu pada metode keagamaan yang mereka gunakan). Sebut saja metode menyisihkan diri selama beberapa periode dalam tradisi Budha, metode ini digunakan untuk mencapai realisasi (mengalami, memahami, merujuk pada pengalaman pencerahan). Didalam metode ini terkadang sang murid menerima cercaan, hinaan, dan terkadang pukulan juga diberikan, hal ini dimaksudkan agar sang murid berusaha lebih keras lagi dalam menembus hambatan-hambatan (Master Sheng-yen, Zen, 2002). Tidak begitu berbeda dalam Islam, seorang yang ingin menjadi Darwis, ia harus menghilangkan berbagai nafsu duniawi yang ia miliki, ia harus mensucikan diri dari keinginan-keinginan semu duniawi agar mampu ikhlas dalam Tareqat, demi mengharap keridloan Allah semata (Robert Frager, Hati, Diri, dan Jiwa, 2005).

Pengalaman Bill Gates ketika ia mengundurkan diri dari jabatannya merupakan suatu pengalaman batiniah yang luas (lebih dari pengalaman religius), karena ia tidak mengalami ekstase keagamaan tertentu sebelum ia memutuskan hal itu. Kita dapat menyebutnya pengalaman spiritual, Maslow sendiri menyebutnya Peak Experience, pengalaman puncak yang menjadikan tiap individu “merasa lebih dari dirinya sendiri, lebih mewujudkan kemampuannya dengan sempurna, lebih dekat dengan inti keberadaannya, dan lebih penuh sebagai manusia”. Pengalaman semacam ini lebih luas, mencakup pengalaman-pengalaman religius para jamaah Tareqat keagamaan Islam, Master-Master Budha, dan Biksu-Biksuni Hindu dalam keagamaan, serta pengalaman-pengalaman seniman dalam kenikmatan estetik. (DR Nico Syukur Dister, Psikologi Agama, 1989).