Monday, January 5, 2009

“Life is not Futile, but it’s Meaningfull”

oleh: Muhammad Nasrullah


Pada saat Bill Gates mengundurkan diri dari Microsoft Corp semua orang bingung, mengapa orang paling kaya sedunia, paling berkuasa dengan uangnya, paling berpengaruh, paling dihormati karena prestasi dan kekuatannya, tiba-tiba mengundurkan diri pada usia muda, dan menyibukkan diri mengurusi yayasan sosial korban HIV/AIDS. Ini contoh nyata suatu lompatan logika, dia rela melepaskan kekuasaan dan kekayaan, untuk kegiatan sosial. Kenapa bisa demikian? Apa isi dunia kehidupan setelah uang dan materi? Berarti ada kebutuhan lain di luar kebutuhan hidup untuk memiliki makanan, rasa aman, cinta dan pengakuan serta aktualisasi diri yang dikemukakan Maslow. Ada piramida kebutuhan selain kebutuhan duniawi.

Kebutuhan hidup ala Abraham Maslow tidak bisa menjelaskan mengapa banyak orang miskin yang bahagia. Mereka tidak terpengaruh oleh perbedaan jenis makanan, minuman atau rumah yang ditempati. Orang miskin bahagia seperti menunjukkan bahwa kebutuhan dasar hidup bukan seperti piramida Maslow. Mengapa para master spiritual Budha (Zen, Ch’an) dapat bertahan menempuh penderitaan hidup? Apa sebenarnya yang mereka alami? Pengalaman hidup apa yang terlintas sehingga para Darwis dan Sufi penganut ajaran Tasawuf dan Tareqat keagamaan dalam Islam mampu menahan keinginan-keinginan dan hasrat untuk menikmati surga dunia?

Fenomena ini sudah lama mengganggu dan membuat otak berpikir keras untuk menemukan jawabannya, dan itulah alasan kuat mengapa Jung (Carl Gustav Jung) banyak meneliti tentang hal-hal yang berbau spiritual. Dalam teori kepribadiannya, Jung memperkenalkan konsep individuasi (realisasi diri) dimana gagasan ini dibangun Jung secara transpersonal berdasarkan kajian-kajian atas simbol-simbol mitologis dan simbol-simbol religius agama barat maupun timur. Jung melihat bagian tak-sadar bukan saja hanya bersifat komplementasi (saling melengkapi), tetapi juga kompensasi (saling mengimbangi).

Gagasan ini kemudian dilanjutkan Maslow dengan mempublikasikan peak experience (pengalaman puncak) yang dialami seseorang setelah mencapai tahap aktualisasi diri (tahap terakhir dalam Needs Hierarchy Theory), sebenarnya Maslow ingin memperkenalkan gagasan yang lebih dalam lagi tentang pengalaman-pengalaman mistis dan spiritual, namun karena pada waktu itu alam pemikiran Amerika (Behaviorisme) sangat tidak akrab dengan istilah-istilah ekplorasi batiniah, ia memilih untuk menunggu waktu yang tepat dan terlebih dahulu ia mengenalkan istilah peak experience tersebut.

Upaya Maslow memang terkesan lambat, namun ia berhasil membangunkan pemikiran-pemikiran spiritual yang tidur dalam berbagai konteks kultural dalam cara yang lembut, sampai-sampai dalam kurun waktu tiga puluh tahun gerimisnya sudah membasahi sebagian besar tubuh psikologi (Y. F. La Kahija, Makalah Psikologi Transpersonal).

Hasilnya dapat dilihat pada saat ini, dimana banyak para Psikolog dan praktisi Psikologi tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang sisi ini, walaupun memang belum cukup kuat untuk membawa pengalaman-pengalaman mistis dan spiritual itu kepada jabatan pengakuan secara umum, namun embrio zeitgeist kemunculannya sudah semakin tercium untuk saat ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya Association for Transpersonal Psychology, yang dalam websitenya (www.atpweb.org/mission.html) menjelaskan misinya: “Misi kami adalah menyediakan forum bagi para sarjana dan praktisi yang meneliti perkembangan spiritual, penyadaran ekologis, dan pertukaran intelektual yang berlangsung lama untuk mengangkat transformasi eko-spiritual melalui penyelidikan dan tindakan transpersonal”.

Sengaja kami mengemukakan secara singkat tentang fenomena perkembangan Psikologi Transpersonal dewasa ini, tak lain adalah agar muncul gambaran tentang lokasi keberadaan pengalaman mistis dan spiritual dalam ranah penelitian ilmiah Psikologi, yaitu dalam aliran Psikologi Transpersonal, aliran yang baru sekaligus lama. Dapat dikatakan baru karena eksplorasi ilmiah dalam bidang ini memang baru berjalan beberapa dasawarsa ini, dan dikatakan lama karena fenomena ini telah terjadi puluhan abad silam, ketika Sidharta Gautama (Budha) mencapai fase pencerahan1, ketika Muhammad mampu menyebarkan Nur Ilahi (cahaya keTuhanan) pada bangsa Arab2, hingga sampai saat ini.

Istilah Tareqat berasal dari bahasa Arab, berasal dari tiga huruf: tho’, ro, dan qof. Tareqat dalam arti bahasa berarti jalan, sedangkan dalam konteks ini adalah sebuah jalan tanpa rambu dipadang pasir (Ibn ‘Arabi dalam Hati Diri dan Jiwa) untuk menuju haqiqoh (kebenaran terdalam)3, namun Tareqat merupakan istilah lain yang banyak dipakai untuk menamakan aliran-aliran Tasawuf4 di Indonesia dan Negara-negara Islam lainnya.

Terdapat banyak sekali Tareqat keagamaan yang ada dalam Islam, sebut saja Naqsyabandiyah, Qodiriyah, Halveti-Jerrahi, Dhohiriyyah, dan masih banyak lagi, kesemuanya dapat diibaratkan sebagai beberapa jalan untuk mencapai sebuah gunung yang tinggi. Jalan mana yang dipilih tergantung setiap individu untuk memilihnya, setiap individu bebas untuk memilih yang mana, tapi inti dari meniti jalan tersebut adalah untuk dapat sampai pada puncak gunung tertinggi. Namun disini pembahasan akan lebih memiliki kualitas dengan meneliti salah satu Tareqat saja, karena begitu luasnya cara mereka dalam melakukan praktek dan ritual-ritual Tareqatnya.

Tareqat keagamaan dalam Islam dapat kita bandingkan dengan Meditasi Zen (Ch’an) dalam Budha, dalam wacana pencarian ketenangan dan makna hidup, kita dapat menyebut pengalaman yang dirasakan pelakunya sebagai pengalaman religius (hal ini mengacu pada metode keagamaan yang mereka gunakan). Sebut saja metode menyisihkan diri selama beberapa periode dalam tradisi Budha, metode ini digunakan untuk mencapai realisasi (mengalami, memahami, merujuk pada pengalaman pencerahan). Didalam metode ini terkadang sang murid menerima cercaan, hinaan, dan terkadang pukulan juga diberikan, hal ini dimaksudkan agar sang murid berusaha lebih keras lagi dalam menembus hambatan-hambatan (Master Sheng-yen, Zen, 2002). Tidak begitu berbeda dalam Islam, seorang yang ingin menjadi Darwis, ia harus menghilangkan berbagai nafsu duniawi yang ia miliki, ia harus mensucikan diri dari keinginan-keinginan semu duniawi agar mampu ikhlas dalam Tareqat, demi mengharap keridloan Allah semata (Robert Frager, Hati, Diri, dan Jiwa, 2005).

Pengalaman Bill Gates ketika ia mengundurkan diri dari jabatannya merupakan suatu pengalaman batiniah yang luas (lebih dari pengalaman religius), karena ia tidak mengalami ekstase keagamaan tertentu sebelum ia memutuskan hal itu. Kita dapat menyebutnya pengalaman spiritual, Maslow sendiri menyebutnya Peak Experience, pengalaman puncak yang menjadikan tiap individu “merasa lebih dari dirinya sendiri, lebih mewujudkan kemampuannya dengan sempurna, lebih dekat dengan inti keberadaannya, dan lebih penuh sebagai manusia”. Pengalaman semacam ini lebih luas, mencakup pengalaman-pengalaman religius para jamaah Tareqat keagamaan Islam, Master-Master Budha, dan Biksu-Biksuni Hindu dalam keagamaan, serta pengalaman-pengalaman seniman dalam kenikmatan estetik. (DR Nico Syukur Dister, Psikologi Agama, 1989).

4 comments:

Anonymous said...

postigan bagus nih...belum tuntas2 bacanya dr kmrn...templatenya yg lain aja ncu...nulis2 kaya gini jg bagus...

Anonymous said...

Udah baca semua tapi ngebacanya masih bredel. Tentang bill gates, ia g akan miskin karena pensiun dininya. Banyak juga yang bilang dengan nada skeptis bahwa, kekayaannya sudah hampir melebihi batas kekayaan sebagai individu di Amerika, jika sampai melebihi maka ia akan dikenakan pajak yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan dana yang ia kucurkan untuk kegiatan sosial.

Apapun itu saya setuju bahwa kekayaan bukanlah sumber kebahagiaan.

Seno said...

E..eh, linknya belum ditulis kok udah ke post komenku.

Selamat Datang.... said...

wehehe.. postingan bgus bro n-chu.. ;-)
emang brlimpah harta jg lum tntu brlimpah jg hati..
tp qt ttp brusaha gmn crany smuanya tu hrus balance..
sukses y bro